skip to main |
skip to sidebar
Prasangka
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional[1]
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori.[2]
• Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
• Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
• Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Beberapa jenis diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat tidak disetujui. Prasangka atau praduga merupakan adanya suatu pikiran atau sikap mengira-ngira terhadap suatu kondisi dimana kita sendiri belum tahu persis kondisi yang sebenarnya. Suatu prasangka memang tidak melulu pada hal negatif, ada juga prasangka positif (kurang lebihnya tidak akan menimbulkan dampak negatif).
Namun, ketika prasangka buruk yang hadir pada diri kita, misalnya kita berpikiran buruk tentang orang lain, segenap sikap kita terhadap orang lain itu akan dituntun oleh prasangka itu. Dalam psikologi, ada yang disebut sebagai selective perception. Manusia pada dasarnya mempersepsi dunia secara selektif, dan itu sangat tergantung pada sikap yang kita bangun mengenai dunia. Sebagai contoh, kalau kita memang sudah percaya bahwa Si A itu jahat, maka setiap kali kita bertemu dengan Si A, kita akan cenderung memberi perhatian terhadap hal-hal dalam diri orang itu yang akan mengukuhkan ketidaksukaan kita. Kita mengabaikan hal-hal baik mengenai dirinya, bahkan ketika ada orang lain yang menyatakan pendapat lain tentangnya.
Begitu kita berprasangka buruk, pikiran kita jadi terbiasa untuk bercuriga. Akibatnya kita membebani pikiran kita dengan segenap kondisi buruk yang sangat mungkin sebenarnya tidak begitu adanya. Kita menjadi orang yang terus khawatir, yang terus membayangkan hal yang tidak-tidak. Jiwa kita menjadi tidak tenang, dan itu akan tercermin dalam perilaku dan ekspresi kita.
Prasangka juga bisa menjadi sumber penyakit, jika prasangka tersebut merupakan prasangka yang buruk. Pikiran buruk adalah seperti tumpukan sampah dalam diri kita. Kalau dia dibiarkan menumpuk terus, dia akan menjadi sumber penyakit. Dan dia hanya bisa dihilangkan kalau kita mau menyingkirkannya dari diri kita. Sampah tidak hilang dengan sendirinya. Kita harus dengan sengaja membuangnya jauh-jauh sehingga baunya pun tak tercium lagi oleh hidung kita. Pikiran buruk berkodrat serupa. Ketika dia ada dalam pikiran kita, dia meracuni bagian-bagian yang masih sehat dalam benak kita. Ketika itu dibiaran berkembang, dia bahkan merusak bagian-bagian tubuh kita yang lain.
Sebagai contoh kecil saja, misalnya ketika pada suatu pagi, seorang kenalan kita tidak tersenyum pada kita, itu tidak berarti dia membenci kita. Ada banyak kemungkinan. Salah satunya, dia sedang mengalami persoalan sangat berat dalam hidupnya, misalnya saja ada salah seorang anggota keluarganya divonis mengidap penyakit serius, atau petugas kartu kredit memburunya, dan sebagainya. Atau mungkin juga karena memang dia mendengar sesuatu yang buruk mengenai diri kita, dan dia merasa tidak nyaman dengan itu.
Ada banyak kemungkinan. Tapi kalau kita kesal dan memusatkan perhatian pada soal ‘dia membenci saya” maka rangkaian kejadian selanjutnya akan didikte oleh sikap kita itu. Sebagai balasan, kita juga tidak tersenyum padanya. Kita mulai mengingat-ingat sisi buruk orang itu. Akibat lebih lanjut, kita benar-benar percaya bahwa dia tidak pantas menjadi teman kita. Ujung-ujungnya, pertemanan hancur, padahal itu semua dimulai dengan kejadian sederhana yaitu “tidak tersenyum”.
Prasangka juga seharusnya kita menempatkannya pada hal yang tepat. Hal tersebut bisa kita pelajari dari soal pengemis. Misalnya, karena kita sering mendengar tentang sindikat pengemis, kita menjadi berprasangka buruk tentang semua pengemis. Maka ketika seorang pengemis cacat mendekati kita di perempatan lampu merah, kita bukan sekadar menolak memberi tapi juga jelas-jelas menunjukkan kesebalan kita dengan wajah bersungut-sungut. Padahal, selalu ada kemungkinan bahwa orang itu benar-benar bagian dari kaum dhuafa yang diwajibkan oleh Allah untuk kita menyantuninya. Keramahan kita hilang karena sebuah prasangka.
Mulai saat ini, mudah-mudahan kita bisa lebih tepat menempatkan sebuah prasangka. Kita pelajari seperti halnya dalam Al-Quran yang berulang kali bicara soal buruknya bergunjing tentang orang lain. Dimana, kutukan dialamatkan pada mereka yang sering berbicara tentang sesuatu yang mereka tidak memiliki pengetahuan cukup mengenainya. Bahkan dalam hal perzinahan, Allah minta agar hukuman “yang sangat berat” hanya bisa ditetapkan kalau memang ada “empat saksi” yang melihat langsung. Penyebutan saksi di situ jelas menunjukkan betapa rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi sebelum kita berhak menghakimi seseorang yang disangka melakukan perilaku buruk. Manusia tidak berhak menghukum seseorang hanya dengan prasangka.
Jika mencermati kisah diatas, kita dapat menyimpilkan bahwa berprasangka buruk adalah sesuatu yang sering mengganggu kebahagiaan hidup manusia. Karena prasangka, hidup seorang manusia bisa hancur. Karena prasangka, hubungan antar-kawan yang semula sedemikian baik bisa berbalik arah. Karena berprasangka pula, jiwa seseorang bisa berkelanjutan terbebani dengan kekhawatiran yang tak perlu. Karena itu, tidak berlebihan bila para ahli kerap menyatakan bahwa kebiasaan berprasangka harus diperangi karena efek negatifnya bisa terentang panjang.
http://kipsaint.com/isi/sekitar-prasangka-atau-praduga.html http://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar